Selasa, 05 Mei 2009

PERUBAHAN ADAT BATAK?

Tulisanku ini menanggapi Tulisan yang saya baca di situs sukubatak.com mengenai "Perubahan / Modernisasi Adat Batak.

(Andaikata saya bisa menanggapi tulisan anda dengan bahasa Batak alangkah baiknya).
"Perubahan", YA. (Tapi dalam tanda kutip ya). Artinya, perubahan itu mungkin lebih tepat disebut "Penyesuaian", itupun tentunya tetap dalam batasannya.
Intinya menurut saya adalah "Pelestarian". Perubahan/Penyesuaian yg tanpa batas sehingga merombak dan merubah menjadi yg baru/lain, tentunya itu bukan disebut lestari. Seperti filosofi: "TUNGKOT SIALAGUNDI, sinuan na parjolo, paunehon na parpudi". Saya tak pandai melafalkannya secara benar/lengkap tapi jiwa saya terpanggil memahaminya sebagai filosofi/falsafah dasar adat/budaya warisan nenek moyang kita orang suku Batak.
Walaupun jaman ini sudah era internet dan perang bintang/satelit, tetapi janganlah kita congkak utk menggampangkan bahkan meremehkan segala sesuatu terutama adat/budaya. Disinilah akan nampak kedewasaan sosial kita sebagai manusia yg beradat/budaya dalam menyikapi jaman/kehidupan ini. Saya sangat berharap orang-orang Batak muda jaman sekarang seperti saya ini dapat melestarikan adat/budaya Batak dengan pemahaman yang mendalam terutama pada dasar filosofi/falsafahnya.
Bahasa Batak itu seharusnya menjadi keharusan, jangan justru dijadikan kewajaran bila generasi batak sekarang ini jarang yang bisa berbahasa batak, justru kita mestinya prihatin dan berusaha memperbaiki dan mengupayakannya.
Umpama/Umpasa Batak, tak kalah penting dengan bahasa dan tradisi Batak lainnya, harus kita hargai dan lestarikan, menurut saya itu bagian yang sangat indah dan menjadi kerangka yang sangat diperlukan dalam membentuk budaya Batak. Jangan dirubah / apalagi dihilangkan atau dianggap tidak perlu, tetapi mestinya dilestarikan dengan mengembangkan atau memperbaikinya.
Ulos / pakaian adat, semua tradisi, segala ulaon, selengkapnya adat/budaya Batak, jangan malah dijadikan "momok", seakan merupakan simbol menunjukkan keterbelakangan, norak/kampungan, dsb, bahkan menabrakkannya dengan urusan agama, menurut saya justru itulah sesungguhnya yang menunjukkan norak/kampungannya keterbelakangan pemikiran mereka. Sok merasa trend/maju terbawa arus jaman padahal tak tahu/kenal dirinya sendiri, aneh kan...?
Adat/Budaya itu, menurut saya adalah terbentuk dari pola hidup sekaligus pola pikir dari orang-orang suku Batak sejak awal mulanya hingga sekarang ini. Nah, bagaimana kita generasi sekarang ini menerapkannya sesuai dengan jaman/keberadaan kita sekarang ini tentunya menjadi hak/tanggung jawab kita, itulah yang akan menjadi adat/budaya selanjutnya yang akan kita wariskan kepada anak/cucu kita kelak. Tentunya bagi mereka yang hidup di kota besar akan beda "warna" dengan yang tinggal di kota kecil, bahkan dengan di Bona Pasogit. Jadi yang saya tekankan hanya kata dalam tanda kutip "WARNA" saja, bisa berbeda-beda, dipersempit atau diperluas, dst, tetapi hendaknya filosofi/falsafah dasarnya tentu tetap dilestarikan dan dikembangkan sesuai kemajuan pola hidup/pikir kita sekarang ini.
Yang sangat memprihatinkan saya adalah begitu banyaknya keturunan suku Batak tetapi tidak lagi (bahkan samasekali tidak) mengenal adat/budaya sebagai pola hidup/pikir. Saya menjadi merasa sangat asing dengan mereka sekalipun darah mereka masih suku Batak sama dengan saya. Bahkan menunjukkan marganya pun mereka enggan/malas, ada apa gerangan...?
Saya pernah mendengar anggapan (mungkin ada benarnya) bahwa pada suku china/tionghoa bisa kita lihat sebagai ontohnya bahwa keturunan china/tionghoa hampir tidak ada yang tidak bisa berbahasa china/tionghoa minimal dalam keluarganya sekalipun mereka berada diluar negeri China/Tionghoa dimana pun mereka berada/merantau. Apakah itu merupakan keterbelakangan? Atau sebaliknya yang patut dicontoh?
Mengapa kita melupakannya bahwa adat/budaya Batak itu sesungguhnya adalah kekayaan dalam kehidupan sosial kita, itu barangkali karena kita silau dengan gemerlap jaman sekarang ini yang banjir dengan kemajuan teknologi mutakhir.
Ini menjadi tanggung jawab kita semua selaku anak/cucu generasi suku Batak, kalo bukan kita lantas siapa lagi?? Dan yang lebih memprihatinkan saya adalah ketika mengingat "generasi saya ini saja pun sudah parah begini, bagaimana pula nantinya anak-cucu saya...?"
Apakah doa/harapan saja cukup... Ayo kita bertindak....

Horas...!
V.Sihotang

Tidak ada komentar: